Fortune menempatkan Petronas sebagai perusahaan terbesar ke-95 di dunia pada tahun 2008 dan ke-80 pada tahun 2009. Majalah ini juga menyebut Petronas sebagai perusahaan paling menguntungkan ke-13 di dunia dan ke-1 di Asia.
Sejak dibentuk, Petronas tumbuh menjadi perusahaan minyak dan gas internasional dengan kepentingan bisnis di 35 negara. Pada akhir MAret 2005, Petronas Group memiliki 103 anak perusahaan penuh, 19 anak perusahaan sebagian, dan 57 perusahaan terkait. Perusahaan-perusahaan tersebut membentuk Petronas Group yang terlibat dalam berbagai aktivitas berbasis minyak dan gas. Financial Times menyebut Petronas sebagai satu dari "tujuh bersaudara baru".
Sementara itu PT Pertamina (Persero) (aslinya merupakan akronim dari Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara) adalah sebuah BUMN yang bertugas mengelola penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia. Pertamina masuk urutan ke 122 dalam Fortune Global 500 pada tahun 2013. Sebelumnya Pertamina Bernama PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (1968-1971). Kemudian Berubah menjadi Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (1971-2003).
Sejak dibentuk, Petronas tumbuh menjadi perusahaan minyak dan gas internasional dengan kepentingan bisnis di 35 negara. Pada akhir MAret 2005, Petronas Group memiliki 103 anak perusahaan penuh, 19 anak perusahaan sebagian, dan 57 perusahaan terkait. Perusahaan-perusahaan tersebut membentuk Petronas Group yang terlibat dalam berbagai aktivitas berbasis minyak dan gas. Financial Times menyebut Petronas sebagai satu dari "tujuh bersaudara baru".
Sementara itu PT Pertamina (Persero) (aslinya merupakan akronim dari Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara) adalah sebuah BUMN yang bertugas mengelola penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia. Pertamina masuk urutan ke 122 dalam Fortune Global 500 pada tahun 2013. Sebelumnya Pertamina Bernama PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (1968-1971). Kemudian Berubah menjadi Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (1971-2003).
Pertamina pernah mempunyai monopoli pendirian SPBU di Indonesia, namun monopoli tersebut telah dihapuskan pemerintah pada tahun 2001. Perusahaan ini juga mengoperasikan 7 kilang minyak dengan kapasitas total 1.051,7 MBSD, pabrik petrokimia dengan kapasitas total 1.507.950 ton per tahun dan pabrik LPG dengan kapasitas total 102,3 juta ton per tahun.
Jika Di ' sigi' Dalam sejarahnya Pertamina jauh lebih tua ketimbang petronas, namun dalam perkembangannya saat ini pertamina tertinggal jauh dari petronas.
Di kutip dari BBC indonesia, Bahkan malaysia sendiri sebelum adanya petronas belajar kepada indonesia soal pengelolaan minyak dan gas di negara ini.
Mereka ingin mencontoh kesuksesan Indonesia yang pada tahun 1980-1990an bisa mencapai 1,5 juta barel lebih per hari. Prestasi Indonesia di sektor migas saat itu memang patut dibanggakan, belum genap dua puluh tahun sejak kemerdekaan diproklamasikan saja Indonesia sudah bisa masuk Organisasi Negara Pengekspor Minyak Dunia (OPEC), berdiri sejajar dengan negara seperti Arab Saudi, Qatar, Venezuela, dan lainnya.
Tak sekedar anggota, Indonesia bahkan punya peran sangat penting untuk menentukan kebijakan pasar minyak dunia. Tak heran begitu Malaysia mendirikan Petronas pada Agustus 1974, mereka menyasar Indonesia untuk tempat berguru. Indonesia saat itu guru, Malaysia adalah muridnya.
Tapi Dua puluh tahun sejak studi banding, sang murid malah mengungguli gurunya. Di 2005 angka konsumsi minyak lebih tinggi ketimbang produksi, alhasil Indonesia resmi menjadi net importir dan hengkang dari OPEC.
Bagaimana dengan Malaysia? Di 2007 posisi Petronas, sebagai perwakilan Malaysia, meroket ke nomor 17 dunia sementara Indonesia dengan Pertamina merosot ke nomor 30 berdasar Petroleum Intelligent Weekly.
Semakin ke sini, posisi Indonesia juga semakin melemah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut cadangan minyak dalam negeri hanya tersisa hingga 2030 dengan asumsi produksi di 800.000 barel per hari tanpa adanya temuan cadangan baru. Berdasarkan data dari BP, cadangan minyak terbukti Indonesia ini jauh kalah dibanding negara tetangga Malaysia dan Vietnam.
Masih di referensi dari BBC indonesia, Pada tahun 2000, cadangan minyak Indonesia padahal terbukti masih berada di kisaran 5,12 miliar barel, jauh mengungguli Malaysia (4,53 miliar barel). Namun, 17 tahun kemudian keadaannya berbalik 180 derajat, dimana cadangan Malaysia mampu mengungguli Indonesia.
Di tahun 2017, cadangan minyak terbukti Malaysia tercatat sebesar 3,60 miliar barel. Sementara itu, menurut Handbook of Energy and Economics Statistics of Indonesia 2017, cadangan minyak terbukti Indonesia hanya tersisa 3,17 miliar barel pada periode yang sama.
Meskipun sama-sama mengalami tren penurunan, laju penurunan cadangan minyak Malaysia masih lebih lambat dibandingkan Indonesia. Bahkan, cadangan minyak mentah Malaysia cenderung stabil dalam 8 tahun terakhir. Pertanyaan yang muncul, apa alasan Malaysia mampu mengungguli Indonesia dalam menjaga cadangan minyaknya?
Kami mencoba menelusuri berbagai pendapat pengamat yang di tulis di berbagai media, alasan pertamanya adalah tentang finansial.
Pertama, dari sisi investasi yang dilakukan untuk pengembangan sumber daya minyak. Apabila membandingkan belanja barang modal (capital expenditure/CAPEX) dari perusahaan minyak negara di Indonesia dan Malaysia, yakni Pertamina dan Petronas, ternyata posisi Pertamina amatlah inferior setidaknya dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2017, realisasi CAPEX Pertamina hanya di kisaran US$ 3,60 miliar, kira-kira hanya sepertiganya dari realisasi CAPEX Petronas sebesar MYR 44,5 miliar (atau sekitar US$ 10,75 miliar) di periode yang sama.
Untuk tahun ini, Petronas mengalokasikan CAPEX sebesar MYR 55 miliar (sekitar US$ 13,29 miliar), dimana alokasi untuk kegiatan eksplorasi sekitar 50%.
Wakil Presiden Petronas Datuk Mohd Anuar Taib menyatakan bahwa CAPEX masih difokuskan untuk kegiatan pengeboran sumur eksplorasi dan akuisisi data seismik.
Senada dengan Petronas, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Gigih Prakoso juga menyatakan bahwa dari anggaran CAPEX 2018 sebesar US$ 5,59 miliar, 59% nya dialokasikan untuk investasi di sektor hulu.
Meskipun porsi CAPEX Pertamina untuk pengembangan hulu memang lebih besar (59% vs Petronas 50%), namun secara nominal jelas jumlahya kalah jauh dari alokasi Petronas (US$ 3,30 miliar vs Petronas US$ 6,64).
Memang dari segi net profit, Petronas secara konsisten mampu mengalahkan Pertamina, bahkan saat net profit Petronas anjlok habis-habisan pada tahun 2015-2016. Seiring harga komoditas minyak yang jatuh, net profit Petronas terjun bebas dari US$ 11,32 pada 2014 ke US$ 3,39 miliar pada 2015. Namun, jumlah tersebut pun masih mengungguli net profit Pertamina pada periode 2015 sebesar US$ 1,45 miliar.
tidak hanya dari segi finansial, Petronas juga mengungguli Indonesia dalam pengembangan teknologi pengelolaan sumber daya minyak. Pada semester II 2014, Petronas bekerja sama dengan ExxonMobil untuk menerapkan proyek Enhanced Oil Recovery (EOR) Tapis, yang berlokasi sekitar 190 km dari Terengganu di semenanjung Malaysia. ExxonMobil dan Petronas menggunakan skema Production Sharing Contract (PSC), dan mengaplikasikan teknologi Water Alternating Gas (WAG) untuk memperpanjang usia dari 7 (tujuh) lapangan, yakni Seligi, Guntong, Tapis, Semangkok, Irong Barat, Tebu, dan Palas.
Proyek tersebut diklaim Petronas sebagai proyek EOR berskala besar pertama di Asia Tenggara, dan diekspektasikan meningkatkan usia lapangan hingga 25 tahun, serta menambah produksi hingga 35.000 barel/hari.
Lantas, bagaimana dengan Pertamina? Sebenarnya Pertamina mulai mengembangkan EOR sejak 2006 hingga saat ini, namun belum menunjukkan kemajuan signifikan.
Berdasarkan laporan tahunan 2016 Pertamina, terdapat 4 proyek EOR prioritas yang saat ini sedang dalam proses pembangunan/pengembangan, yakni EOR Talang Jimar, Rantau, Tempina, dan Jirak, yang seluruhnya dikelola anak perusahaan PT Pertamina EP. Namun, keseluruhan proyek tersebut masih dikembangkan dalam skala kecil.
Laporan terakhir per Maret 2017 diketahui Pertamina EP sukses mendapatkan tambahan produksi minyak dari teknologi EOR sebanyak 3.372 barel per hari. Angka ini tentu masih jauh dibanding prestasi Malaysia yang bisa menggenjot hingga 10 kali lipatnya.
Malahan menjelang akhir tahun lalu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ego Syahrial, menyatakan bahwa metode EOR tidak cocok dengan lapangan yang ada Indonesia, karena kekompleksan geologinya. Menurut dia, yang cocok untuk meningkatkan produksi adalah memperbanyak titik serap.
Namun demikian, Ego menambahkan bahwa metode EOR masih akan tetap berjalan, dan hingga saat ini Kementerian ESDM Bersama SKK Migas masih memikirkan seperti apa EOR ke depannya.
Oleh: Gus
Moderator: Boy Paskand
Referensi:
BBC indonesia
Wikipedia
Baca Juga: Ketika Indonesia Di kelilingi Negara Nuklir 》》
Jika Di ' sigi' Dalam sejarahnya Pertamina jauh lebih tua ketimbang petronas, namun dalam perkembangannya saat ini pertamina tertinggal jauh dari petronas.
Di kutip dari BBC indonesia, Bahkan malaysia sendiri sebelum adanya petronas belajar kepada indonesia soal pengelolaan minyak dan gas di negara ini.
Mereka ingin mencontoh kesuksesan Indonesia yang pada tahun 1980-1990an bisa mencapai 1,5 juta barel lebih per hari. Prestasi Indonesia di sektor migas saat itu memang patut dibanggakan, belum genap dua puluh tahun sejak kemerdekaan diproklamasikan saja Indonesia sudah bisa masuk Organisasi Negara Pengekspor Minyak Dunia (OPEC), berdiri sejajar dengan negara seperti Arab Saudi, Qatar, Venezuela, dan lainnya.
Tak sekedar anggota, Indonesia bahkan punya peran sangat penting untuk menentukan kebijakan pasar minyak dunia. Tak heran begitu Malaysia mendirikan Petronas pada Agustus 1974, mereka menyasar Indonesia untuk tempat berguru. Indonesia saat itu guru, Malaysia adalah muridnya.
Tapi Dua puluh tahun sejak studi banding, sang murid malah mengungguli gurunya. Di 2005 angka konsumsi minyak lebih tinggi ketimbang produksi, alhasil Indonesia resmi menjadi net importir dan hengkang dari OPEC.
Bagaimana dengan Malaysia? Di 2007 posisi Petronas, sebagai perwakilan Malaysia, meroket ke nomor 17 dunia sementara Indonesia dengan Pertamina merosot ke nomor 30 berdasar Petroleum Intelligent Weekly.
Semakin ke sini, posisi Indonesia juga semakin melemah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut cadangan minyak dalam negeri hanya tersisa hingga 2030 dengan asumsi produksi di 800.000 barel per hari tanpa adanya temuan cadangan baru. Berdasarkan data dari BP, cadangan minyak terbukti Indonesia ini jauh kalah dibanding negara tetangga Malaysia dan Vietnam.
Masih di referensi dari BBC indonesia, Pada tahun 2000, cadangan minyak Indonesia padahal terbukti masih berada di kisaran 5,12 miliar barel, jauh mengungguli Malaysia (4,53 miliar barel). Namun, 17 tahun kemudian keadaannya berbalik 180 derajat, dimana cadangan Malaysia mampu mengungguli Indonesia.
Di tahun 2017, cadangan minyak terbukti Malaysia tercatat sebesar 3,60 miliar barel. Sementara itu, menurut Handbook of Energy and Economics Statistics of Indonesia 2017, cadangan minyak terbukti Indonesia hanya tersisa 3,17 miliar barel pada periode yang sama.
Meskipun sama-sama mengalami tren penurunan, laju penurunan cadangan minyak Malaysia masih lebih lambat dibandingkan Indonesia. Bahkan, cadangan minyak mentah Malaysia cenderung stabil dalam 8 tahun terakhir. Pertanyaan yang muncul, apa alasan Malaysia mampu mengungguli Indonesia dalam menjaga cadangan minyaknya?
Kami mencoba menelusuri berbagai pendapat pengamat yang di tulis di berbagai media, alasan pertamanya adalah tentang finansial.
Promo
Fashion Wanita & Pria ➡️
Promo
Buku Bacaan Islami Dan Al-Qur'an ➡️
Pertama, dari sisi investasi yang dilakukan untuk pengembangan sumber daya minyak. Apabila membandingkan belanja barang modal (capital expenditure/CAPEX) dari perusahaan minyak negara di Indonesia dan Malaysia, yakni Pertamina dan Petronas, ternyata posisi Pertamina amatlah inferior setidaknya dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2017, realisasi CAPEX Pertamina hanya di kisaran US$ 3,60 miliar, kira-kira hanya sepertiganya dari realisasi CAPEX Petronas sebesar MYR 44,5 miliar (atau sekitar US$ 10,75 miliar) di periode yang sama.
Untuk tahun ini, Petronas mengalokasikan CAPEX sebesar MYR 55 miliar (sekitar US$ 13,29 miliar), dimana alokasi untuk kegiatan eksplorasi sekitar 50%.
Wakil Presiden Petronas Datuk Mohd Anuar Taib menyatakan bahwa CAPEX masih difokuskan untuk kegiatan pengeboran sumur eksplorasi dan akuisisi data seismik.
Senada dengan Petronas, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Gigih Prakoso juga menyatakan bahwa dari anggaran CAPEX 2018 sebesar US$ 5,59 miliar, 59% nya dialokasikan untuk investasi di sektor hulu.
Meskipun porsi CAPEX Pertamina untuk pengembangan hulu memang lebih besar (59% vs Petronas 50%), namun secara nominal jelas jumlahya kalah jauh dari alokasi Petronas (US$ 3,30 miliar vs Petronas US$ 6,64).
Memang dari segi net profit, Petronas secara konsisten mampu mengalahkan Pertamina, bahkan saat net profit Petronas anjlok habis-habisan pada tahun 2015-2016. Seiring harga komoditas minyak yang jatuh, net profit Petronas terjun bebas dari US$ 11,32 pada 2014 ke US$ 3,39 miliar pada 2015. Namun, jumlah tersebut pun masih mengungguli net profit Pertamina pada periode 2015 sebesar US$ 1,45 miliar.
tidak hanya dari segi finansial, Petronas juga mengungguli Indonesia dalam pengembangan teknologi pengelolaan sumber daya minyak. Pada semester II 2014, Petronas bekerja sama dengan ExxonMobil untuk menerapkan proyek Enhanced Oil Recovery (EOR) Tapis, yang berlokasi sekitar 190 km dari Terengganu di semenanjung Malaysia. ExxonMobil dan Petronas menggunakan skema Production Sharing Contract (PSC), dan mengaplikasikan teknologi Water Alternating Gas (WAG) untuk memperpanjang usia dari 7 (tujuh) lapangan, yakni Seligi, Guntong, Tapis, Semangkok, Irong Barat, Tebu, dan Palas.
Proyek tersebut diklaim Petronas sebagai proyek EOR berskala besar pertama di Asia Tenggara, dan diekspektasikan meningkatkan usia lapangan hingga 25 tahun, serta menambah produksi hingga 35.000 barel/hari.
Lantas, bagaimana dengan Pertamina? Sebenarnya Pertamina mulai mengembangkan EOR sejak 2006 hingga saat ini, namun belum menunjukkan kemajuan signifikan.
Berdasarkan laporan tahunan 2016 Pertamina, terdapat 4 proyek EOR prioritas yang saat ini sedang dalam proses pembangunan/pengembangan, yakni EOR Talang Jimar, Rantau, Tempina, dan Jirak, yang seluruhnya dikelola anak perusahaan PT Pertamina EP. Namun, keseluruhan proyek tersebut masih dikembangkan dalam skala kecil.
Laporan terakhir per Maret 2017 diketahui Pertamina EP sukses mendapatkan tambahan produksi minyak dari teknologi EOR sebanyak 3.372 barel per hari. Angka ini tentu masih jauh dibanding prestasi Malaysia yang bisa menggenjot hingga 10 kali lipatnya.
Malahan menjelang akhir tahun lalu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ego Syahrial, menyatakan bahwa metode EOR tidak cocok dengan lapangan yang ada Indonesia, karena kekompleksan geologinya. Menurut dia, yang cocok untuk meningkatkan produksi adalah memperbanyak titik serap.
Namun demikian, Ego menambahkan bahwa metode EOR masih akan tetap berjalan, dan hingga saat ini Kementerian ESDM Bersama SKK Migas masih memikirkan seperti apa EOR ke depannya.
Oleh: Gus
Moderator: Boy Paskand
Referensi:
BBC indonesia
Wikipedia