Komando Pasukan Khusus (Kopassus) memiliki andil besar dalam pemberantasan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca peristiwa kelam Gerakan 30 September (G30S PKI). Salah satu prajurit baret merah yang menonjol saat itu adalah Sarwo Edhi Wibowo, Panglima RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) cikal bakal Kopassus.
Sarwo Edhie, dan pasukannya menangkapi tokoh PKI serta mereka yang dicurigai terafliasi dengan partai komunis terbesar ketiga di dunia tersebut.
Kala itu, Pasukan RPKAD juga memburu PKI ke berbagai kota, khususnya di pulau Jawa, seperti Blora, Madiun, Ngawi, dan kota-kota lainnya.
Dalam perburuan itu, beberapa kali Kopassus menemukan antek-antek PKI dengan kemampuan mistis, membuat mereka menjadi target yang sulit untuk diberantas.
Dalam suatu perburuan, terdapat suatu kejadian yang tidak pernah disangka oleh pasukan TNI, di mana momen itu mengarah ke sifat mistis. Ini terjadi saat anggota TNI ingin melaksanakan eksekusi mati anggota PKI.
Tetapi, anggota PKI yang dimaksud terlihat tidak bisa dieksekusi. Dirinya kebal terhadap peluru dan bahkan sama sekali tidak menunjukkan rasa takut, kendati sedang menjalankan proses eksekusi mati.
Baca Juga: Nasib Perempuan Italia Yang Melawan Kuasa Nazi & Kisah Perempuan Jerman Yang Loyal Kepada Hitler
Di tengah alun-alun Blora, seorang prajurit menembak tepat di kening tawanan PKI. Herannya, dia masih bertahan hidup. Situasi ini membuat Mayor Kemal Idris yang menjadi komandan Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi bingung.
"Ada apa Mayor?" tanya anak buah Mayor Kemal Idris. "Itu tawanan minta mati," tukas Mayor Kemal.
"Kamu punya ilmu ya?" tanya sang bawahan. "Tidak," jawab anggota PKI tersebut.
Anak buah itu kembali mencoba mengeksekusi tawanan itu, dan kali ini, pistol berfungsi. Tembakan itu membuat tawanan itu terhempas ke belakang dan tewas di tempat.
"Rupanya, jawaban "Tidak" dari sang jagoan merupakan kunci pelepasan ilmu kebalnya," ungkap Mayjen TNI (Purn) Rachwono. "Sehingga dia mati sesuai permintaannya…," tutupnya.
Melansir buku "Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando", karya Hendro Subroto, saat itu sedang terjadi pemburuan atas seorang dukun bernama Mbah Mulyono Surodiharjo, yang dikenal sebagai dukun sakti dan sering mengobati orang sakit.
Pemerintah, khususnya pihak militer melihat Mulyono Surodiharjo, biasa disapa Mbah Suro, telah ditunggangi oleh PKI. Tidak tanggung-tanggung, pasukan RPKAD langsung turun tangan mencari Mbah Suro.
Mbah Suro, selain mampu mengobati orang sakit, diketahui memiliki ilmu sakti yang membuatnya kebal senjata. Mbah Suro bahkan mampu membuat pengikutnya memiliki kesaktian yang sama seperti dirinya
Sebelum menjadi dukun di sebuah desa bernama Desa Ninggil, Mbah Suro pernah menjadi lurah. Dirinya beralih menjadi dukun dan membuka praktik untuk mengobati orang sakit setelah beberapa lama turun menjadi lurah.
Saat itu, Mulyono Surodiharjo melakukan pergantian nama baru menjadi Mbah Suro juga diikuti dengan perubahan penampilan. Salah satunya adalah memelihara kumis tebal dan rambut panjang layaknya seorang dukun.
Mbah Suro kerap melakukan berbagai kegiatan berbau mistis dan menyebarkan kepercayaan Djawa Dipa. Tidak hanya itu, Mbah Suro juga sering memberi jampi-jampi atau mantera dan air kekebalan kepada para muridnya, terlebih untuk mereka yang dianggap meresahkan.
Pengikutnya percaya bahwa mereka menjadi kebal terhadap senjata tajam dan senjata api berkat ajaran Mbah Suro.
Sumber 》》
Sumber 》》